JAKARTA - Sertifikasi ulang terhadap 1.020.000 orang guru yang telah mengantongi sertifikat profesi mendapat penolakan dari kalangan pendidik. Alasannya, uji kompetensi ulang tersebut melanggar asas umum pemerintahan khususnya motivasi dan kepastian. Karenanya, para guru mengancam akan memboikot dan menggugat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Menurut Presidium Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Guntur Ismail, tidak ada dasar hukum pelaksanaan uji kompetensi ulang untuk guru bersertifikasi. Pola ini hanya meniru pemetaan kompetensi siswa melalui ujian nasional (Unas).
"Uji kompetensi ulang guru bersertifikasi ini menimbulkan kerugian imateril. Yaitu adanya dampak dan beban psikologis bagu guru. Tentunya akan berdampak pada menurunnya motivasi dan kinerja guru. Jika Kemendikbud tetap melaksanakan maka kami akan melakukan upaya hukum secara perdata ke PTUN,l tegas Guntur saat ditemui di Kantor ICW, Jakarta, Kamis (14/6).
Ia melanjutkan, jika guru dianggap tidak berkualitas seharusnya pemerintah memberdayakan kepala sekolah (Kepsek) dan pengawas untuk membina. Bukan melakukan uji kompetensi ulang. "Menurut kami yang saat ini lebih mendesak adalah memprioritaskan pengadaan sarana dan prasarana sekolah ketimbang uji kompetensi ulang. Kunci keberhasilan pembelajaran di kelas sangat dipengaruhi oleh kelengkapan sarana dan prasarana tersebut," katanya.
Guntur menegaskan, sertifikasi ulang guru dilakukan untuk mengetahui kompetensi guru dalam mengajar. Mereka diseleksi berdasarkan aturan, instrumen, dan penrangkat yang jelas. Tapi, hasilnya masih diragukan pemerintah.
"Mau soal pilihan ganda (PG) atau esai tidak menggambarkan kompetensi. Yang diukur seharusnya penampilan. Tes esai atau PG hanya pengetahuan kognitif. Padahal, ada 4 aspek penilaian guru, yaitu kognitif, pedagogik, sosial, dan kepribadian," kecamnya.
Sementara itu, Sekjen FSGI Retno Listyarti menambahkan, Kemendikbud sebaiknya jangan mengutak-atik sertifikasi. Apalagi dengan uji kompetensi ulang melalui tes PG. Kalau pun ada penilaian seharusnya kinerja di kelas. Bukan hanya faktor kognitif (pemahaman materi) guru saja.
"PG tidak menggambarkan kemampuan guru yang sebenarnya. Kami akan memboikot dan tidak mau ikut. Kami tidak takut diuji. Tapi tidak mau diuji seperti ini. Kenapa tidak memberdayakan pengawas yang membina guru," tegas Retno.
Masih kata Retno, sertifikasi ulang ini sengaja dilakukan karena pemerintah ingin memetakan guru dengan gampang. Padahal, sertifikasi sudah dilakukan sejak 6 tahun lalu. Mengapa masih mencari data. "Kami kompeten atau tidak lihat ke kelas," tandas wanita berkerudung ini.
Sekjen Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan mengatakan, selama ini guru di Indonesia hanya jadi kelinci percobaan. Sejak dulu, penilaian guru selalu berubah-ubah. "Ini hanya sebagai proyek. LPTK yang mendidik guru justru menyalahkan hasil produknya," kata Iwan.
Dilanjutkan Iwan, kenapa hanya guru yang dievaluasi. Bagaimana dengan Kepsek dan pengawas. Selama ini tidak pernah ada evaluasi terhadap keduanya. "Kepsek tidak pernah ditanyakan kinerjanya. Banyak yang bodong. Padahal banyak guru berkualitas. Tapi pengawas dan Kepsek berkualitas ada tidak. Itu yang terjadi datang ke sekolah hanya tanda tangan saja. Mereka tidak melakukan pembinaan. Ada tapi jarang," tuturnya. (cdl/ris)
sumber: jpnn.com
0 komentar:
Posting Komentar