Kamis, 11 Agustus 2011

Home » Balita antara Masa Emas dan Kritis

Balita antara Masa Emas dan Kritis


PDF Print E-mail
Anemia gizi besi di masyarakat atau dikenal dengan kurang darah merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia, yang dapat diderita oleh seluruh kelompok umur mulai bayi, balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa, dan lanjut usia.

Berbagai kajian ilmiah menunjukkan bahwa penderita gizi buruk juga menderita kekurangan zat besi yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. ''Anemia akibat kekurangan gizi dan vitamin serta mineral lainnya masih perlu perhatian,'' kata dr Rachmi Untoro MPH, Direktur Gizi Masyarakat Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes. Bahkan, dia menambahkan, hampir seluruh kelompok umur masih menderita anemia di Indonesia.

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, prevalensi anemia pada balita 0-5 tahun sekitar 47%, anak usia sekolah dan remaja sekitar 26,5%, dan wanita usia subur (WUS) berkisar 40%. Sementara survei di DKI Jakarta 2004 menunjukkan angka prevalensi anemia pada balita sebesar 26,5% dan pada ibu hamil 43,5%.

Melihat beberapa hasil survei ini, anemia gizi masih merupakan masalah gizi utama pada anak-anak, ibu hamil, dan wanita pada umumnya.

Jenis dan besaran masalah gizi di Indonesia 2001 hingga 2003 menunjukkan 2 juta ibu hamil menderita anemia gizi, 350 ribu berat bayi lahir rendah setiap tahun, 5 juta balita gizi kurang, 8,1 juta anak dan 3,5 juta remaja dan wanita usia subur menderita anemia gizi besi, 11 juta anak pendek, dan 30 juta kelompok usia produktif kurang energi kronis.

"Tetapi anemia yang memprihatinkan adalah anemia yang terjadi pada ibu hamil dan balita," kata Rachmi. Kenapa? Pasalnya pada kelompok ibu hamil dan balita merupakan kelompok yang memiliki masa emas sekaligus masa kritis. Maksudnya, ibu yang mengandung sangat memerlukan mineral, protein, dan juga asam folat. Balita juga memiliki masa tumbuh yang besar, termasuk tumbuh kembang otaknya juga sangat membutuhkan asupan tersebut.

Apabila pada masa kehamilan seorang ibu dan balita kekurangan mineral, protein, dan asam folat, seorang anak akan memiliki risiko mendapatkan kerusakan otak permanen. Jika terjadi kerusakan otak permanen, akan berakibat buruk pada proses perkembangan otaknya.

Loss generation

Saat memasuki sekolah, anak memiliki kecerdasan kurang.

Rachmi mengingatkan, anemia bisa menyebabkan kerusakan sel otak secara permanen lebih berbahaya dari kerusakan sel-sel kulit. Sekali sel-sel otak mengalami kerusakan tidak mungkin dikembalikan seperti semula. Karena itu, pada masa emas dan kritis perlu mendapat perhatian.

Berbeda halnya kasus busung lapar. Kendati kulit keriput dan perutnya membuncit, dapat diatasi seperti sediakala. Sementara balita yang telah mengalami kerusakan otak permanen sulit diatasi. "Ini yang dikhawatirkan, terjadinya loss generation karena kerusakan otak. Otak yang mengalami kerusakan sulit untuk dipulihkan," jelasnya.

Pertumbuhan otak yang cepat adalah mulai janin dalam kandungan hingga usia 2 tahun. Pada masa itu yang disebut juga dengan masa keemasan memiliki masa pertumbuhan sel-sel otaknya mencapai 80%. Sisanya yang 20% baru setelah usia 2 tahun. Oleh karena itu, ibu-ibu yang melahirkan sangat dianjurkan menyusui anaknya.

Rachmi mengatakan anemia gizi besi disebabkan adanya hubungan timbal balik antara kecukupan asupan zat gizi, terutama zat besi dan protein, dengan infeksi penyakit cacingan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan anemia gizi besi jangka pendek diarahkan dengan memberikan suplementasi zat besi berupa tablet tambah darah dan penanggulangan cacingan.

Anak-anak tidak cukup hanya diberi makanan bergizi. Bila pendarahan yang disebabkan cacing dan menyebabkan kekurangan darah tidak diatasi, percuma. Contohnya, ada anak yang makan berkecukupan, tetapi berat badanya kurang. Untuk mengatasi hal itu perlu program pemberi makanan bergizi sekaligus pemberantasan cacingan.

Dalam pandangan Rachmi, untuk jangka panjang upaya penanggulangan anemia gizi diarahkan melalui peningkatan pola hidup sehat dan bersih melalui norma-norma keluarga sadar gizi dan pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Selain itu, untuk menanggulangi anemia gizi besi, Depkes memiliki strategi yang mengarah kepada pencapaian kemandirian masyarakat. Caranya dengan menjalin kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah.

''Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dengan kerja sama yang baik antara pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat dalam mengembangkan kegiatan penanggulangan anemia gizi yang berkelanjutan. Bentuk-bentuk kemitraan yang terjadi di beberapa daerah seperti DKI Jakarta dan Jawa Timur layak dipelajari untuk dijadikan contoh dalam pengembangan program masa mendatang,'' katanya. (Deri Dahuri/X-10)

sumber: Media Indonesia Online, Rabu, 10 Agustus 2005

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Sagalanyampak